Morisco, Muljani PERKAWINAN WANITA HAMIL DALAM PANDANGAN IBU-IBU ANGGOTA PENGAJIAN SPI DI KECAMATAN MLATI KABUPATEN SLEMAN. [Research]
Text (Penelitian Ilmu Hukum)
HK05801.pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) |
Abstract
Perkawinan wanita hamil sering terjadi dalam masyarakat kita, sebagai upaya untuk memberikan status hukum kepada wanita tersebut dan kepada anak yang akan dilahirkannya. Dalam masyarakat hukum Adat perkawinan tersebut dapat dilakukan baik dengan laki-Iaki yang menghamilinya atau disebut kawin paksa, tetapi dapat pula dilakukan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya atau disebut kawin darurat. Dalam hukum Islam perkawinan wanita hamil dilarang (hukumnya haram) sebagaimana disebutkan dalam surat At-Thalak ayat 4 bahwa wanita hamil untuk dapat melangsungkan perkawinan harus menunggu masa idah atau waktu tunggu habis, yaitu setelah anak yang di kandung dilahirkan. Tetapi dalam surat An-Nuur ayat 3 menentukan bahwa wanita pezina harus menikah dengan laki-Iaki lawan zinanya. Dalam Pasal 53 KHI membolehkan wanita hamil dinikahkan dengan laki?laki yang menghamilinya tanpa menunggu si anak lahir, dan perkawinannya tidak perlu diulang. Untuk sahnya suatu perkawinan maka harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang No. 1 Th 1974 yaitu harus dilakukan menurut hukum Agama masing-masing dan harus dicatat. Pasal14 KHI menentukan rukun perkawinan harus ada calon mempelai, ada wali nikah, ada dua orang saksi, dan ada ijab dan qabul. Dari hal tersebut timbul permasalahan bagaimana status hukum perkawinan wanita hamil tersebut dan bagaimana statu& anak yang dilahirkan dari perkawinan itu? Dari hasil penelitian dilapangan yang dilakukan di Kecamatan Mlati dengan mengambil sampel wilayah di dua desa, yaitu desa Tlogoadi dan desa Sinduadi, masing-masing desa diambil tiga kelompok pengajian. Dari masing?masing kelompok pengajian Ibu-Ibu diambil sepuluh responden, sehingga keseluruhan responden ada 60. Pendapat responden sebagian besar menyatakan bahwa perkawinan wanita hamil sah, karena sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang NO.1 Th 1974 dan KHI. Perkawinan wanita hamil harus dilakukan dengan laki-Iaki yang menghamilinya atau kawin paksa dengan maksud untuk menghormati anak yang dilahirkan, jadi kawin darurat tidak disetujui agar hubungan nasab si anak dengan orangtuanya jelas. Dengan status perkawinannya yang sah terse?but maka anak yang dilahirkanpun juga sah, sehingga terjadi hubungan nasab antara anak dengan ibu yang melahirkannya dan ayah yang menjadi suami ibunya.
Item Type: | Research |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Kawin hamil, status perkawinan, status anak |
Subjects: | Ilmu Hukum > Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum |
Divisions: | Fakultas Hukum > Program Studi Ilmu Hukum |
Depositing User: | Editor UAJY |
Date Deposited: | 04 Jul 2014 08:52 |
Last Modified: | 13 Mar 2015 10:54 |
URI: | http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint/5417 |
Actions (login required)
View Item |