MAHATMA, JOHANES CHRISTIAN YUDHI (2010) WORLD PRESS PHOTO : PESONA TENTANG KEHANCURAN DUNIA Memahami Negativitas Pengalaman Manusia dalam Photo of The Year 1997 ‐ 2007. S1 thesis, UAJY.
|
Text (Halaman Judul)
0KOM02062.pdf Download (88MB) | Preview |
|
|
Text (Bab I)
1KOM02062.pdf Download (291kB) | Preview |
|
|
Text (Bab II)
2KOM02062.pdf Download (141kB) | Preview |
|
Text (Bab III)
3KOM02062.pdf Restricted to Registered users only Download (793kB) |
||
Text (Bab IV)
4KOM02062.pdf Restricted to Registered users only Download (159kB) |
||
|
Text (Bab V)
5KOM02062.pdf Download (412kB) | Preview |
Abstract
Hidup...berarti bergerak, teradapat dinamika, dan yang pasti terdapat pertumbuh-kembangan. Secara sederhana itulah arti dari kehidupan –terutama manusia–, yang berarti tidak mati. Seperti yang diungkapkan dalam prakata bahwa hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tak layak dihidupi, serta realitas yang tidak dipersoalkan adalah realitas yang tak layak untuk dihayati. Hal tersebut telah menjadai dasar pemikiran dalam penulisan ini. Tidak hanya menjawab rumusan masalah, namun lebih berpusat pada kesadaran manusia. Dalam filsafat ilmu komunikasi, proses komunikasi telah terjadi ketika manusia berdialog dengan dirinya sendiri. Lebih dalam lagi sebuah dialektika intrapersonal atau dengan diri sendiri untuk mempertanyakan kembali sesuatu yang telah peperbuatnya. Saat itulah kesadaran manusia sedang bertumbuh. Namun, pengalaman buruk yang traumatis telah meruntuhkan kesadaran manusia. Ia telah menyerahkan kuasanya kepada pihak lain yang lebih kuat. Kini manusia tidak lagi berkuasa atas dirinya seperti pada jaman pencerahan, bahwa manusia menjadi pusat dunia. Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada) yang dikumandangkan Descartes telah membawa manusia pada sikap cinta diri (bahkan berlebihan). Kecintaan diri yang berlebihan telah membawa manusia pada perendahan pihak diluar dirinya, atau dalam istilah Jean-Paul Sartre yaitu ’yang lain’. Hiruk pikuknya dunia telah mempengaruhi pola-pola hubungan antar manusia, yang kadang menimbulkan gesekan yang berujung pada sebuah konflik, baik individu maupun komunal. Ketika manusia berusaha mempertahankan keberadaannya (eksistensi) di dunia ini, dapat memicu sikap agresif yang bermuara pada tindak kekerasan. Jika kita menderet kata-kata yang berhubungan dengan kekerasan, maka yang terasa adalah sebuah kegaduhan dunia. Mungkin kita tidak mengalaminya langsung, namun fenomena-fenomena itu dapat kita jumpai dalam laporan junalistik di media massa. Dengan menganut prinsip kebenaran (Sembilan Elemen Jurnalisme-Bill Kovac), kiranya produk jurnalisme dapat menjadi suatu jendela untuk melihat dunia. Darah, sperma dan air liur, ketiga cairan itu bisa tumplek blek dalam semua media massa. Ungkapan itu, barangkali, agak berlebihan. Tapi, coba kita simak kembali sajian media massa kita setiap detik, setiap hari. Media massa mengeksploitasi kekerasan, penganiayaan, pembunuhan dan seterusnya (darah). Kemudian seks, gosip dan gaya hidup mengumbar wilayah privat; skandal seks, selingkuh, pemerkosaan dan seterusnya (sperma). Pers harian yang mengklaim sebagai media umum juga hanya mendaur ulang omongan -dengan demikian opini- para politisi, polisi, birokrat, pengamat dan seterusnya (air liur). Masterpiece peradaban manusia abad 19 itu merangkum manifestasi ketiga cairan tadi lengkap dengan suara dan gambar. Lalu, apa yang dapat kita cerna? Banjir bandang informasi nyaris tak memberi kesempatan kita untuk sekadar merenung, mengevaluasi lalu merubah kondisi. Mengejar oplah, rating dan tentu saja pendapatan iklan, lalu, menggeser peran pers sebagai watchdog: anjing penjaga yang menyalak galak pada penguasa politik (penyelenggara negara) korup. Dalam penulisan ini mengambil salah satu produk jurnalisme, yaitu foto jurnalisme sebagai saksi peradaban manusia sekaligus kebiadabannya. Matra visual mempunyai keunggulan tersendiri ketika ia menjadi teks sosial, sebagai bahan untuk dikaji. Meminjam ungkapan John Berger, ”seeing comes before words. The child looks an recognizes before it can speak”. Seiring dengan hal itu, World Press Photo (WPPh) sebagai organisasi independen yang memberikan penghargaan kepada para pewarta foto dari seluruh dunia, yang kadang dianggap tidak manusiawi, dengan terus membidik dan mengarahkan kameranya pada manusia-manusia yang sedang terluka fisik maupun batinnya. Namun, anggapan tersebut sedikit reda, ketika dengan kekuatan visual fotografi mampu menggelitik kesadaran manusia tentang apa yang telah diperbuatnya. Contohnya, kekejaman perang saudara di Amerika Serikat, Perang Vietnam, serta kekejaman penjara Abu Graib yang terungkap melalui bukti foto. Tidak hanya itu, matra visual itu telah menggugah solidaritas antar-manusia ketika berhasil merekam peristiwa tsunami yang meluluh-lantakan kehidupan di Asia Selatan dan Tenggara. Dari situlah kiranya foto jurnalistik yang memperoleh penghargaan tertinggi WPPh, yaitu Photo of the Year, berguna sebagai jendela untuk melihat, mengamati, lantas memahami ”negativitas pengalaman manusia”. Dengan pendekatan hermeneutika yang diusung Paul Ricoeur, dipadukan dengan teori persilangan yang ditulis John Berger, penulis mencoba membedah, memaparkan, menjelaskan, serta memahami fenomena negativitas yang tertampakkan melalui Photo of the Year 1997-2007.
Item Type: | Thesis (S1) |
---|---|
Subjects: | Komunikasi > Kajian Media |
Divisions: | Fakultas ISIP > Ilmu komunikasi |
Depositing User: | Editor UAJY |
Date Deposited: | 18 Jun 2013 11:14 |
Last Modified: | 18 Jun 2013 11:14 |
URI: | http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint/2284 |
Actions (login required)
View Item |